Thursday, July 7, 2011

BENTENG VREDEBURG-YOGYAKARTA


Perjalanan 16 Tahun Gerilya

Tercatat selama kurun waktu 16 tahun bergerilya, R.M. Said telah melakukan pertempuran sebanyak 250 kali. Namun diantara ratusan pertempuran tersebut, ada tiga pertempuran dahsyat yang terjadi pada periode 1752 hingga diadakannya perjanjian Salatiga, 12 Maret 1757.
Pertama, pertempuaran melawan pasukan Mangkubumi atau Sultan Hamengkubuwono I di Desa Kasatriyan, sebelah barat daya Ponorogo, Jawa Timur. Perang terjadi pada hari Jum’at Kliwon, tanggal 16 Syawal “tahun Je” 1678 (Jawa) atau 1752 Masehi. Desa Kasatriyan merupakan benteng pertahanan R.M. Said setelah berhasil menguasai daerah Madiun, Magetan, dan Ponorogo.

Perang kedua adalah perang paling besar ketika R.M. Said bertempur melawan dua detasemen VOC Kompeni di bawah pimpinan Kapten Van Der Pol dan Kapten Beiman di sebelah selatan negeri Rembang, tepatnya di Hutan Sitakepyak (Senin Pahing, 17 Sura, Tahun Wawu 1681 J / 1756 M).
Perang ketiga adalah penyerbuan R.M. Said ke benteng Vre Deburg Belanda dan Keraton Yogya-Mataram. Perang ini terjadi pada Kamis 3 Sapar, tahun Jumakir 1682 J / 1757 M.
Berkali-kali berperang, berkali-kali pula R.M. Said lolos dari sergapan pasukan gabungan Mataram dan Belanda. R.M. Said memang dikenal sebagai
panglima perang yang berhasil membina pasukan yang militan. Berkat hal itulah ia dijuluki “Pangeran Sambernyawa”, karena dianggap oleh musuh-musuhnya sebagai penyebar maut.
Kehebatan Pangeran Sambernyawa dalam strategi perang bukan hanya dipuji pengikutnya melainkan juga disegani lawannya. Tak kurang dari Gubernur Direktur Jawa, Baron van Hohendorff, yang berkuasa ketika itu, memuji kehebatan Pangeran Sambernyawa. “Pangeran yang satu ini sudah sejak mudanya terbiasa dengan perang dan menghadapi kesulitan, sehingga tidak mau diajak tergabung dengan Belanda dan keterampilannya perangnya itu diperoleh selama pengembaraan di daerah pedalaman,” tutur Hohendorff. Sampai akhirnya, perjanjian Salatiga pada 17 Maret 1757 itulah yang bisa membuat R.M. Said rela menghentikan perangnya. Dalam perjanjian yang hanya melibatkan Sunan Paku Buwono III, dan saksi utusan Sultan Hamengku Buwono I dan Kompeni Belanda ini, disepakati R.M. Said mendapatkan hak mendirikan dan memimpin sebuah istana dari sebuah kadipaten.
Bergelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aryo Sri Mangkunegoro I, R.M. Said kemudian membangun wilayah kekuasaannya di sebelah barat tepi Kali Pepe (Sungai Pepe), tempat yang dipilihnya sendiri. Namun, walaupun hanya sebagai Adipati, kedudukan hokum mengenai Mangkunegoro I tidaklah sama dengan Sunan yang disebut sebagai Leenman atau penggaduh atau peminjam kekuasaan dari Kompeni.
Memang secara sadar, sejak dini R.M. Said menyadari, bahwa dirinya
adalah seorang “raja kecil”. Bahkan tingkah lakunya pun menyiratkan, bahwa “dia adalah Raja di Jawa Tengah yang ke III”. Demikian, kenyataannya VOC Kompeni pun memperlakukannya sebagai raja ke III di Jawa Tengah, selain Raja I (Sunan) dan Raja II (Sultan).
Bahkan VOC Kompeni mengakui, Mangkunegoro I merupakan raja Jawa pertama yang berani dan mampu melibatkan wanita di dalam angkatan perangnya. Prajurit wanita itu bahkan sudah diikutkan dalam pertempuran ketika memberontak melawan Sunan, Sultan dan Kompeni.
Mangkunegoro berhasil mengajari wanita desa mengangkat senjata dan menunggang kuda di medan perang. Ia menugaskan sekretaris wanita untuk mencatat setiap kejadian di peperangan. Catatan harian itulah yang kelak kemudian dihimpun dalam buku Babad Lelampahan dan Babad Tutur. Jika Babad Lelampahan ditulis dalam bentuk tembang atau puisi Jawa, yang berisi tentang catatan perjalanan perang, Babad Tutur bercerita tentang kebijakan Mangkunegoro I dan R.M. Said selama memimpin kerajaannya.

No comments:

Post a Comment

Please Comment here :)