TINDAK
PIDANA KORUPSI DI INDONESIA
Diajukan Guna Melengkapi Syarat-Syarat Penilaian Softskill
Mata Kuliah Bahasa Indonesia 2
Fakultas Ekonomi
Universitas Gunadarma
Disusun Oleh :
Nama : Fadhilah Husna
NPM : 11209630
Kelas : 3EA02
Jurusan : Manajemen
JAKARTA
2012
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan atas
kehadirat Allah SWT atas limpahan Rahmat dan Hidayah-Nya, sehingga penulis
dapat menyusun makalah ini dalam rangka untuk melengkapi nilai Softskill dengan
Mata Kuliah Bahasa Indonesia 2. Penulis
menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini tidak lepas dari dukungan,
bimbingan dan kerjasama dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan
ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1.
Jono Suroyo, selaku dosen Softskill
Bahasa Indonesia 2.
2.
Kedua orang tua yang sangat penulis
cintai yang telah membesarkan, mendidik dan membimbing dengan penuh kesabaran
dan kasih sayang, serta memberikan dukungan moral maupun spiritual sehingga
penulis dapat menyelesaikan Makalah ini.
3.
Semua teman-teman yang telah memberikan
semangat, saran serta kritiknya khusnya kelas 3EA02 yang tidak dapat penulis
sebutkan satu persatu.
Kepada semua rekan yang tidak dapat disebutkan. Semoga segala kebaikan yang telah diberikan
mendapat balasan dari Allah SWT.
Jakarta, 30 April 2012
Fadhilah Husna
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL i
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah 1
1.2 Rumusan Masalah 1
1.3 Tujuan Masalah 2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Makna
Tindak Pidana Korupsi 3
2.2 Korupsi
dan Politik Hukum Ekonomi 4
2.3 Korupsi
dan Desentralisasi 8
2.4 Memberantas
Korupsi Demi Pembangunan Ekonomi 9
BAB III KESIMPULAN 12
DAFTAR PUSTAKA 13
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar
Belakang Masalah
Peraturan perundang-undangan
(legislation) merupakan wujud dari politik hukum institusi Negara dirancang dan
disahkan sebagai undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi. Secara parsial, dapat disimpulkan pemerintah
dan bangsa Indonesia serius melawan dan memberantas tindak pidana korupsi di
negeri ini. Tebang pilih. Begitu
kira-kira pendapat beberapa praktisi dan pengamat hukum terhadap gerak
pemerintah dalam menangani kasus korupsi akhir-akhir ini.
Gaung pemberantasan korupsi seakan menjadi senjata ampuh untuk dibubuhkan dalam teks pidato para pejabat Negara, bicara seolah ia bersih, anti korupsi. Masyarakat melalui LSM dan Ormas pun tidak mau kalah, mengambil manfaat dari kampanye anti korupsi di Indonesia. Pembahasan mengenai strategi pemberantasan korupsi dilakakukan dibanyak ruang seminar, booming anti korupsi, begitulah tepatnya. Meanstream perlawanan terhadap korupsi juga dijewantahkan melalui pembentukan lembaga Adhoc, Komisi Anti Korupsi (KPK).
Gaung pemberantasan korupsi seakan menjadi senjata ampuh untuk dibubuhkan dalam teks pidato para pejabat Negara, bicara seolah ia bersih, anti korupsi. Masyarakat melalui LSM dan Ormas pun tidak mau kalah, mengambil manfaat dari kampanye anti korupsi di Indonesia. Pembahasan mengenai strategi pemberantasan korupsi dilakakukan dibanyak ruang seminar, booming anti korupsi, begitulah tepatnya. Meanstream perlawanan terhadap korupsi juga dijewantahkan melalui pembentukan lembaga Adhoc, Komisi Anti Korupsi (KPK).
Celah kelemahan hukum selalu menjadi
senjata ampuh para pelaku korupsi untuk menghindar dari tuntutan hukum. Kasus Korupsi mantan Presiden Soeharto, contoh
kasus yang paling anyar yang tak kunjung memperoleh titik penyelesaian. Perspektif politik selalu mendominasi
kasus-kasus hukum di negeri sahabat Republik BBM ini. Padahal penyelesaiaan kasus-kasus korupsi
besar seperti kasus korupsi Soeharto dan kroninya, dana BLBI dan kasus-kasus
korupsi besar lainnya akan mampu menstimulus program pembangunan ekonomi di
Indonesia.
1.2.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan
uraian di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut :
1.
Bagaimana korupsi mempengaruhi pembangunan ekonomi
di Indonesia?
2. Strategi apa
yang dapat dilakukan untuk meminimalisir praktek korupsi tersebut ?
3. Bagaimana cara
menangani tindak pidana korupsi?
1.3.
Tujuan Masalah
Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka tujuan
yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah :
1. Untuk
mengetahui bagaimana korupsi mempengaruhi pembangunan ekonomi di Indonesia.
2. Untuk
mengetahui strategi apa yang dapat dilakukan untuk meminimalisir praktek korupsi
tersebut.
3. Untuk
mengetahui bagaimana cara menangani tindak pidana korupsi.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Makna
Tindak Pidana Korupsi
Jeremy Pope dalam bukunya Confronting Coruption : The Element of National
Integrity System, menjelaskan bahwa korupsi merupakan permasalahan global yang
harus menjadi keprihatinan semua orang. Praktik
korupsi biasanya sejajar dengan konsep pemerintahan totaliter, diktator yang
meletakkan kekuasaan di tangan segelintir orang. Namun, tidak berarti dalam sistem
sosial-politik yang demokratis tidak ada korupsi bahkan bisa lebih parah
praktek korupsinya, apabila kehidupan sosial-politiknya tolerasi bahkan
memberikan ruang terhadap praktek korupsi tumbuh subur. Korupsi juga tindakan
pelanggaran hak asasi manusia, lanjut Pope.
Menurut Dieter Frish, mantan Direktur Jenderal Pembangunan Eropa. Korupsi merupakan tindakan memperbesar biaya untuk barang dan jasa, memperbesar utang suatu Negara, dan menurunkan standar kualitas suatu barang. Biasanya proyek pembangunan dipilih karena alasan keterlibatan modal besar, bukan pada urgensi kepentingan publik. Korupsi selalu menyebabkan situasi sosial-ekonomi tak pasti (uncertenly). Ketidakpastian ini tidak menguntungkan bagi pertumbuhan ekonomi dan peluang bisnis yang sehat. Selalu terjadi asimetris informasi dalam kegiatan ekonomi dan bisnis. Sektor swasta sering melihat ini sebagai resiko terbesar yang harus ditanggung dalam menjalankan bisnis, sulit diprediksi berapa Return of Investment (ROI) yang dapat diperoleh karena biaya yang harus dikeluarkan akibat praktek korupsi juga sulit diprediksi. Akhiar Salmi dalam makalahnya menjelaskan bahwa korupsi merupakan perbuatan buruk, seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya.
Menurut Dieter Frish, mantan Direktur Jenderal Pembangunan Eropa. Korupsi merupakan tindakan memperbesar biaya untuk barang dan jasa, memperbesar utang suatu Negara, dan menurunkan standar kualitas suatu barang. Biasanya proyek pembangunan dipilih karena alasan keterlibatan modal besar, bukan pada urgensi kepentingan publik. Korupsi selalu menyebabkan situasi sosial-ekonomi tak pasti (uncertenly). Ketidakpastian ini tidak menguntungkan bagi pertumbuhan ekonomi dan peluang bisnis yang sehat. Selalu terjadi asimetris informasi dalam kegiatan ekonomi dan bisnis. Sektor swasta sering melihat ini sebagai resiko terbesar yang harus ditanggung dalam menjalankan bisnis, sulit diprediksi berapa Return of Investment (ROI) yang dapat diperoleh karena biaya yang harus dikeluarkan akibat praktek korupsi juga sulit diprediksi. Akhiar Salmi dalam makalahnya menjelaskan bahwa korupsi merupakan perbuatan buruk, seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya.
Dalam makalahnya, Salmi juga menjelaskan makna korupsi menurut Hendry
Campbell Black yang menjelaskan bahwa korupsi “ An act done with an intent to
give some advantage inconsistent with official duty and the right of others. The act of an official or fiduciary person who
unlawfully and wrongfully uses his station or character to procure some benefit
for himself or for another person, contrary to duty and the right of others.”
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan
Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, pasal 1
menjelaskan bahwa tindak pidana korupsi sebagaimana maksud dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan yang mengatur tentang tindak pidana korupsi. Jadi perundang-undangan Republik Indonesia
mendefenisikan korupsi sebagai salah satu tindak pidana. Mubaryanto, Penggiat ekonomi Pancasila, dalam
artikelnya menjelaskan tentang korupsi bahwa, salah satu masalah besar
berkaitan dengan keadilan adalah korupsi, yang kini kita lunakkan menjadi
“KKN”. Perubahan nama dari korupsi menjadi KKN ini barangkali beralasan karena
praktek korupsi memang terkait koneksi dan nepotisme. Tetapi tidak dapat disangkal bahwa dampak
“penggantian” ini tidak baik karena KKN ternyata dengan kata tersebut praktek
korupsi lebih mudah diteleransi dibandingkan dengan penggunaan kata korupsi
secara gamblang dan jelas, tanpa tambahan kolusi dan nepotisme.
2.2. Korupsi dan Politik Hukum Ekonomi
Korupsi merupakan permasalah mendesak yang harus diatasi, agar tercapai
pertumbuhan dan geliat ekonomi yang sehat. Berbagai catatan tentang korupsi yang setiap
hari diberitakan oleh media massa baik cetak maupun elektronik, tergambar
adanya peningkatan dan pengembangan model-model korupsi. Retorika anti korupsi tidak cukup ampuh untuk
memberhentikan praktek tercela ini. Peraturan
perundang-undang yang merupakan bagian dari politik hukum yang dibuat oleh
pemerintah, menjadi meaning less, apabila tidak dibarengi dengan kesungguhan
untuk manifestasi dari peraturan perundang-undangan yang ada. Politik hukum tidak cukup, apabila tidak ada
recovery terhadap para eksekutor atau para pelaku hukum. Konstelasi seperti ini mempertegas alasan dari
politik hukum yang dirancang oleh pemerintah tidak lebih hanya sekedar memenuhi
meanstream yang sedang terjadi.
Dimensi politik hukum yang merupakan “kebijakan pemberlakuan” atau “enactment policy”, merupakan kebijakan pemberlakuan sangat dominan di Negara berkembang, dimana peraturan perundang-undangan kerap dijadikan instrumen politik oleh pemerintah, penguasa tepatnya, untuk hal yang bersifat negatif atau positif. Dan konsep perundang-undangan dengan dimensi seperti ini dominan terjadi di Indonesia, yang justru membuka pintu bagi masuknya praktek korupsi melalui kelemahan perundang-undangan. Lihat saja Undang-undang bidang ekonomi hasil analisis Hikmahanto Juwana, seperti Undang-undang Perseroan Terbatas, Undang-undang Pasar Modal, Undang-undang Hak Tanggungan, UU Dokumen Perusahaan, UU Kepailitan, UU Perbankan, UU Persaingan Usaha, UU Perlindungan Konsumen, UU Jasa Konstruksi, UU Bank Indonesia, UU Lalu Lintas Devisa, UU Arbitrase, UU Telekomunikasi, UU Fidusia, UU Rahasia Dagang, UU Desain Industri dan banyak UU bidang ekonomi lainnya. Hampir semua peraturan perundang-undangan tersebut memiliki dimensi kebijakan politik hukum “ kebijakan pemberlakuan”, dan memberikan ruang terhadap terjadinya praktek korupsi.
Dimensi politik hukum yang merupakan “kebijakan pemberlakuan” atau “enactment policy”, merupakan kebijakan pemberlakuan sangat dominan di Negara berkembang, dimana peraturan perundang-undangan kerap dijadikan instrumen politik oleh pemerintah, penguasa tepatnya, untuk hal yang bersifat negatif atau positif. Dan konsep perundang-undangan dengan dimensi seperti ini dominan terjadi di Indonesia, yang justru membuka pintu bagi masuknya praktek korupsi melalui kelemahan perundang-undangan. Lihat saja Undang-undang bidang ekonomi hasil analisis Hikmahanto Juwana, seperti Undang-undang Perseroan Terbatas, Undang-undang Pasar Modal, Undang-undang Hak Tanggungan, UU Dokumen Perusahaan, UU Kepailitan, UU Perbankan, UU Persaingan Usaha, UU Perlindungan Konsumen, UU Jasa Konstruksi, UU Bank Indonesia, UU Lalu Lintas Devisa, UU Arbitrase, UU Telekomunikasi, UU Fidusia, UU Rahasia Dagang, UU Desain Industri dan banyak UU bidang ekonomi lainnya. Hampir semua peraturan perundang-undangan tersebut memiliki dimensi kebijakan politik hukum “ kebijakan pemberlakuan”, dan memberikan ruang terhadap terjadinya praktek korupsi.
Fakta yang terjadi menunjukkan bahwa Negara-negara industri tidak dapat
lagi menggurui Negara-negara berkembang soal praktik korupsi, karena melalui
korupsilah sistem ekonomi-sosial rusak, baik Negara maju dan berkembang. Bahkan dalam bukunya “The Confesion of
Economic Hit Man” John Perkin mempertegas peran besar Negara adidaya seperti
Amerika Serikat melalui lembaga donor seperti IMF, Bank Dunia dan perusahaan
Multinasional menjerat Negara berkembang seperti Indonesia dalam kubangan
korupsi yang merajalela dan terperangkap dalam hutang luar negeri yang luar
biasa besar, seluruhnya dikorup oleh penguasa Indonesia saat itu. Hal ini
dilakukan dalam melakukan hegemoni terhadap pembangunan ekonomi di Indonesia,
dan berhasil. Demokratisasi dan
Metamorfosis Korupsi Pergeseran sistem, melalui tumbangnya kekuasaan icon orde
baru, Soeharto. Membawa berkah bagi
tumbuhnya kehidupan demokratisasi di Indonesia. Reformasi, begitu banyak orang menyebut
perubahan tersebut. Namun sayang reformasi harus dibayar mahal oleh Indonesia
melalui rontoknya fondasi ekonomi yang memang “Bubble Gum” yang setiap saat
siap meledak itu. Kemunafikan (Hipocrasy) menjadi senjata ampuh untuk membodohi
rakyat. Namun, apa mau dinyana rakyat
tak pernah sadar, dan terbuai oleh lantunan lembut lagu dan kata tertata rapi
dari hipocrasi yang lahir dari mulut para pelanjut cita-cita dan karakter orde
baru. Dulu korupsi tersentralisasi di
pusat kekuasaan, seiring otonomi atau desentralisasi daerah yang diikuti oleh
desentralisasi pengelolaan keuangan daerah, korupsi mengalami pemerataan dan
pertumbuhan yang signifikan. Pergeseran sistem yang penulis jelaskan, diamini
oleh Susan Rose-Ackerman, yang melihat kasus di Italy, Rose menjelaskan
demokratisasi dan pasar bebas bukan satu-satunya alat penangkal korupsi,
pergeseran pemerintah otoriter ke pemerintahan demokratis tidak serta merta
mampu menggusur tradisi suap-menyuap. Korupsi ada di semua sistem sosial feodalisme,
kapitalisme, komunisme dan sosialisme. Dibutuhkan Law effort sebagai mekanisme solusi
sosial untuk menyelesaikan konflik kepentingan, penumpuk kekayaan pribadi, dan
resiko suap-menyuap. Harus ada tekanan hukum yang menyakitkan bagi koruptor.
Korupsi di Indonesia telah membawa disharmonisasi politik-ekonomi-sosial,
grafik pertumbuhan jumlah rakyat miskin terus naik karena korupsi.
Dalam kehidupan demokrasi di Indonesia, praktek korupsi makin mudah
ditemukan dipelbagai bidang kehidupan. Pertama,
karena melemahnya nilai-nilai sosial, kepentingan pribadi menjadi pilihan lebih
utama dibandingkan kepentingan umum, serta kepemilikan benda secara individual
menjadi etika pribadi yang melandasi perilaku sosial sebagian besar orang. Kedua, tidak ada transparansi dan tanggung
gugat sistem integritas public. Biro
pelayanan publik justru digunakan oleh pejabat publik untuk mengejar ambisi
politik pribadi, semata-mata demi promosi jabatan dan kenaikan pangkat. Sementara kualitas dan kuantitas pelayanan
publik, bukan prioritas dan orientasi yang utama. Dan dua alasan ini menyeruak di Indonesia,
pelayanan publik tidak pernah termaksimalisasikan karena praktik korupsi dan
demokratisasi justru memfasilitasi korupsi. Korupsi dan Ketidakpastian Pembangunan Ekonomi
Pada paragraf awal penulis jelaskan bahwa korupsi selalu mengakibatkan situasi
pembangunan ekonomi tidak pasti. Ketidakpastian ini tidak menguntungkan bagi
pertumbuhan ekonomi dan bisnis yang sehat. Sektor swasta sulit memprediksi
peluang bisnis dalam perekonomian, dan untuk memperoleh keuntungan maka mereka
mau tidak mau terlibat dalam konspirasi besar korupsi tersebut. High cost economy harus dihadapi oleh para
pebisnis, sehingga para investor enggan masuk menanamkan modalnya disektor riil
di Indonesia, kalaupun investor tertarik mereka prepare menanamkan modalnya di sektor
financial di pasar uang. Salah satu
elemen penting untuk merangsang pembangunan sektor swasta adalah meningkatkan
arus investasi asing (foreign direct investment). Dalam konteks ini korupsi sering menjadi beban
pajak tambahan atas sektor swasta. Investor
asing sering memberikan respon negatif terhadap hali ini(high cost economy). Indonesia dapat mencapai tingkat investasi
asing yang optimal, jika Indonesia terlebih dahulu meminimalisir high cost
economy yang disebabkan oleh korupsi. Praktek
korupsi sering dimaknai secara positif, ketika perilaku ini menjadi alat
efektif untuk meredakan ketegangan dan kebekuan birokrasi untuk menembus
administrasi pemerintah dan saluran politik yang tertutup. Ketegangan politik antara politisi dan
birokrat biasanya efektif diredakan melalui praktek korupsi yang memenuhi
kepentingan pribadi masing-masing. Pararel
dengan pendapat Mubaryanto, yang mengatakan “Ada yang pernah menyamakan
penyakit ekonomi inflasi dan korupsi. Inflasi,
yang telah menjadi hiperinflasi tahun 1966, berhasil diatasi para teknokrat
kita. Sayangnya sekarang tidak ada
tanda-tanda kita mampu dan mau mengatasi masalah korupsi, meskipun korupsi
sudah benar-benar merebak secara mengerikan. Rupanya masalah inflasi lebih bersifat teknis
sehingga ilmu ekonomi sebagai monodisiplin relatif mudah mengatasinya. Sebaliknya korupsi merupakan masalah
sosial-budaya dan politik, sehingga ilmu ekonomi sendirian tidak mampu
mengatasinya. Lebih parah lagi ilmu
ekonomi malah cenderung tidak berani melawan korupsi karena dianggap “tidak
terlalu mengganggu pembangunan”. Juga inflasi dianggap dapat “lebih
menggairahkan” pembangunan, dapat “memperluas pasar” bagi barang-barang mewah,
yang diproduksi. “Dunia usaha memang
nampak lebih bergairah jika ada korupsi”! Apapun alasannya, korupsi cenderung
menciptakan inefisiensi dan pemborosan sektor ekonomi selalu terjadi. Output yang dihasilkan tidak sebanding dengan
nilai yang dikeluarkan, ancaman inflasi selalu menyertai pembangunan ekonomi. GDP turun drastis, nilai mata uang terus
tergerus. Akibat efek multiplier dari
korupsi tersebut. Mubaryanto
menjelaskan, Kunci dari pemecahan masalah korupsi adalah keberpihakan
pemerintah pada keadilan. Korupsi harus
dianggap menghambat pewujudan keadilan sosial, pembangunan sosial, dan
pembangunan moral. Jika sekarang korupsi
telah menghinggapi anggota-anggota legislatif di pusat dan di daerah, bahayanya
harus dianggap jauh lebih parah karena mereka (anggota DPR/DPRD) adalah wakil
rakyat. Jika wakil-wakil rakyat sudah
“berjamaah” dalam berkorupsi maka tindakan ini jelas tidak mewakili aspirasi
rakyat, Jika sejak krisis multidimensi yang berawal dari krismon 1997/1998 ada
anjuran serius agar pemerintah berpihak pada ekonomi rakyat (dan tidak lagi
pada konglomerat), dalam bentuk program-program pemberdayaan ekonomi rakyat,
maka ini berarti harus ada keadilan politik.
Keadilan ekonomi dan keadilan sosial sejauh ini tidak terwujud di
Indonesia karena tidak dikembangkannya keadilan politik. Keadilan politik adalah “aturan main”
berpolitik yang adil, atau menghasilkan keadilan bagi seluruh warga negara. Kita menghimbau para filosof dan
ilmuwan-ilmuwan sosial, untuk bekerja keras dan berpikir secara
empirik-induktif, yaitu selalu menggunakan data-data empirik dalam
berargumentasi, tidak hanya berpikir secara teoritis saja, lebih-lebih dengan
selalu mengacu pada teori-teori Barat. Dengan
berpikir empirik kesimpulan-kesimpulan pemikiran yang dihasilkan akan langsung
bermanfaat bagi masyarakat dan para pengambil kebijakan masa sekarang.
Misalnya, adilkah orang-orang kaya kita hidup mewah ketika pada saat yang sama
masih sangat banyak warga bangsa yang harus mengemis sekedar untuk makan.
Negara kaya atau miskin sama saja, apabila tidak ada itikad baik untuk memberantas
praktek korup maka akan selalu mendestruksi perekonomian dalam jangka pendek
maupun panjang. Banyak bukti yang menunjukkan bahwa skandal ekonomi dan korupsi
sering terjadi dibanyak Negara kaya dan makmur dan juga terjadi dari kebejatan
moral para cleptocrasy di Negara-negara miskin dan berkembang seperti
Indonesia. Pembangunan ekonomi sering dijadikan alasan untuk menggadaikan
sumber daya alam kepada perusahaan multinasional dan Negara adi daya yang
didalamnya telah terkemas praktik korupsi untuk menumpuk pundit-pundi harta
bagi kepentingan politik dan pribadi maupun kelompoknya.
2.3. Korupsi dan Desentralisasi
Desentralisasi atau otonomi daerah merupakan perubahan paling mencolok
setelah reformasi digulirkan. Desentralisasi
di Indonesia oleh banyak pengamat ekonomi merupakan kasus pelaksanaan
desentralisasi terbesar di dunia, sehingga pelaksanaan desentralisasi di
Indonesia menjadi kasus menarik bagi studi banyak ekonom dan pengamat politik
di dunia. Kompleksitas permasalahan
muncul kepermukaan, yang paling mencolok adalah terkuangnya sebagian
kasus-kasus korupsi para birokrat daerah dan anggota legislatif daerah. Hal ini merupakan fakta bahwa praktek korupsi
telah mengakar dalam kehidupan sosial-politik-ekonomi di Indonesia. Pemerintah daerah menjadi salah satu motor
pendobrak pembangunan ekonomi. Namun,
juga sering membuat makin parahnya high cost economy di Indonesia, karena
munculnya pungutan-pungutan yang lahir melalui Perda (peraturan daerah) yang
dibuat dalam rangka meningkatkan PAD (pendapatan daerah) yang membuka
ruang-ruang korupsi baru di daerah. Mereka tidak sadar, karena praktek itulah,
investor menahan diri untuk masuk ke daerahnya dan memilih daerah yang memiliki
potensi biaya rendah dengan sedikit praktek korup. Akibat itu semua, kemiskinan meningkat karena
lapangan pekerjaan menyempit dan pembangunan ekonomi di daerah terhambat. Boro-boro memacu PAD. Terdapat beberapa bobot
yang menentukan daya saing investasi daerah. Pertama, faktor kelembagaan. Kedua, faktor infrastruktur. Ketiga, faktor sosial – politik. Keempat, faktor ekonomi daerah. Kelima, faktor ketenagakerjaan. Hasil penelitian Komite Pemantauan Pelaksanaan
Otonomi Daerah (KPPOD) menjelaskan pada tahun 2002 faktor kelembagaan, dalam
hal ini pemerintah daerah sebagi faktor penghambat terbesar bagi investasi hal
ini berarti birokrasi menjadi faktor penghambat utama bagi investasi yang
menyebabkan munculnya high cost economy yang berarti praktek korupsi melalui
pungutan-pungutan liar dan dana pelicin marak pada awal pelaksanaan
desentralisasi atau otonomi daerah tersebut. Dan jelas ini menghambat tumbuhnya kesempatan
kerja dan pengurangan kemiskinan di daerah karena korupsi di birokrasi daerah. Namun, pada tahun 2005 faktor penghambat utama
tersebut berubah. Kondisi sosial-politik dominan menjadi hambatan bagi
tumbuhnya investasi di daerah. Pada
tahun 2005 banyak daerah melakukan pemilihan kepala daerah (Pilkada) secara
langsung yang menyebabkan instabilisasi politik di daerah yang membuat enggan para
investor untuk menanamkan modalnya di daerah. Dalam situasi politik seperti ini, investor
lokal memilih menanamkan modalnya pada ekspektasi politik dengan membantu
pendanaan kampanye calon-calon kepala daerah tertentu, dengan harapan akan
memperoleh kemenangan dan memperoleh proyek pembangunan di daerah sebagai
imbalannya. Kondisi seperti ini tidak
akan menstimulus pembangunan ekonomi, justru hanya akan memperbesar pengeluaran
pemerintah (government expenditure) karena para investor hanya mengerjakan proyek-proyek
pemerintah tanpa menciptakan output baru diluar pengeluaran pemerintah (biaya
aparatur negara). Bahkan akan berdampak
pada investasi diluar pengeluaran pemerintah, karena untuk meningkatkan PAD-nya
mau tidak mau pemerintah daerah harus menggenjot pendapatan dari pajak dan
retrebusi melalui berbagai Perda (peraturan daerah) yang menciptakan ruang bagi
praktek korupsi. Titik tolak pemerintah
daerah untuk memperoleh PAD yang tinggi inilah yang menjadi penyebab munculnya
high cost economy yang melahirkan korupsi tersebut karena didukung oleh
birokrasi yang njelimet.
Seharusnya titik tolak pemerintah daerah adalah pembangunan ekonomi daerah
dengan menarik investasi sebesar-besarnya dengan merampingkan birokrasi dan
memperpendek jalur serta jangka waktu pengurusan dokumen usaha, serta
membersihkan birokrasi dari praktek korupsi. Peningkatan PAD (Pendapatan Asli
Daerah), pengurangan jumlah pengangguran dan kemiskinan pasti mengikuti.
2.4. Memberantas Korupsi demi Pembangunan Ekonomi
Selain menghambat pertumbuhan ekonomi, korupsi juga menghambat pengembangan
sistem pemerintahan demokratis. Korupsi
memupuk tradisi perbuatan yang menguntungkan diri sendiri atau kelompok, yang
mengesampingkan kepentingan publik. Dengan
begitu korupsi menutup rapat-rapat kesempatan rakyat lemah untuk menikmati
pembangunan ekonomi, dan kualitas hidup yang lebih baik. Pendekatan yang paling ampuh dalam melawan
korupsi di Indonesia. Pertama, mulai dari meningkatkan standar tata
pemerintahan – melalui konstruksi integritas nasional. Tata pemerintahan modern mengedepankan sistem
tanggung gugat, dalam tatanan seperti ini harus muncul pers yang bebas dengan
batas-batas undang-undang yang juga harus mendukung terciptanya tata pemerintah
dan masyarakat yang bebas dari korupsi. Demikian pula dengan pengadilan.
Pengadilan yang merupakan bagian dari tata pemerintahan, yudikatif, tidak lagi
menjadi hamba penguasa. Namun, memiliki ruang kebebasan menegakkan kedaulatan
hukum dan peraturan. Dengan demikian akan terbentuk lingkaran kebaikan yang
memungkin seluruh pihak untuk melakukan pengawasan, dan pihak lain diawasi.
Namun, konsep ini penulis akui sangat mudah dituliskan atau dikatakan daripada
dilaksanakan. Setidaknya dibutuhkan waktu yang cukup lama untuk membangun
pilar-pilar bangunan integritas nasional yang melakukan tugas-tugasnya secara
efektif, dan berhasil menjadikan tindakan korupsi sebagai perilaku yang
beresiko sangat tinggi dengan hasil yang sedikit.
Konstruksi integritas nasional, ibarat Masjidil Aqsha yang suci yang ditopang oleh pilar-pilar peradilan, parlemen, kantor auditor-negara dan swasta, ombudsman, media yang bebas dan masyarakat sipil yang anti korupsi. Diatas bangunan nan suci itu ada pembangunan ekonomi demi mutu kehidupan yang lebih baik, tatanan hukum yang ideal, kesadaran publik dan nilai-nilai moral yang kokoh memayungi integritas nasional dari rongrongan korupsi yang menghambat pembangunan yang paripurna. Kedua, hal yang paling sulit dan fundamental dari semua perlawanan terhadap korupsi adalah bagaimana membangun kemauan politik (political will). Kemauan politik yang dimaksud bukan hanya sekedar kemauan para politisi dan orang-orang yang berkecimpung dalam ranah politik. Namun, ada yang lebih penting sekedar itu semua. Yakni, kemauan politik yang termanifestasikan dalam bentuk keberanian yang didukung oleh kecerdasan sosial masyarakat sipil atau warga Negara dari berbagai elemen dan strata sosial. Sehingga jabatan politik tidak lagi digunakan secara mudah untuk memperkaya diri, namun sebagai tangggung jawab untuk mengelola dan bertanggung jawab untuk merumuskan gerakan mencapai kehidupan berbangsa dan bernegara yang baik. Biasanya resiko politik merupakan hambatan utama dalam melawan gerusan korupsi terhadap pembangunan ekonomi nasional. Oleh sebab itu, mengapa kesadaran masyarakat sipil penting?. Dalam tatanan pemerintahan yang demokratis, para politisi dan pejabat Negara tergantung dengan suara masyarakat sipil. Artinya kecerdasan sosial-politik dari masyarakat sipil-lah yang memaksa para politisi dan pejabat Negara untuk menahan diri dari praktek korupsi. Masyarakat sipil yang cerdas secara sosial-politik akan memilih pimpinan (politisi) dan pejabat Negara yang memiliki integritas diri yang mampu menahan diri dari korupsi dan merancang kebijakan kearah pembangunan ekonomi yang lebih baik. Melalui masyarakat sipil yang cerdas secara sosial-politik pula pilar-pilar peradilan dan media massa dapat diawasi sehingga membentuk integritas nasional yang alergi korupsi. Ketika Konstruksi Integritas Nasional berdiri kokoh dengan payung kecerdasan sosial-politik masyarakat sipil, maka pembangunan ekonomi dapat distimulus dengan efektif. Masyarakat sipil akan mendorong pemerintah untuk memberikan pelayanan publik yang memadai.masyarakat sipil pula yang memberi ruang dan menciptakan ruang pembangunan ekonomi yang potensial. Masyarakat melalui para investor akan memutuskan melakukan investasi yang sebesar-besarnya karena hambatan ketidakpastian telah hilang oleh bangunan integritas nasional yang kokoh. Jumlah output barang dan jasa terus meningkat karena kondusifnya iklim investasi di Indonesia, karena kerikil-kerikil kelembagaan birokrasi yang njelimet dan korup telah diminimalisir, kondisi politik stabil dan terkendali oleh tingginya tingkat kecerdasan sosial-politik masyarakat sipil. Para investor mampu membuat prediksi ekonomi dengan ekspektasi keuntungan tinggi. Sehingga dengan begitu pembangunan ekonomi akan memberikan dampak langsung pada pengurangan jumlah pengangguran dan masyarakat miskin, peningkatan PAD (Pendapatan Asli Daerah) masing-masing daerah, peningkatan GDP dan pemerintah akan mampu membangun sisten jaminan sosial warganya melalui peningkatan kualitas pendidikan dan layanan kesehatan yang memberikan dampak langsung pada peningkatan kecerdasan masyarakat sipil.
Konstruksi integritas nasional, ibarat Masjidil Aqsha yang suci yang ditopang oleh pilar-pilar peradilan, parlemen, kantor auditor-negara dan swasta, ombudsman, media yang bebas dan masyarakat sipil yang anti korupsi. Diatas bangunan nan suci itu ada pembangunan ekonomi demi mutu kehidupan yang lebih baik, tatanan hukum yang ideal, kesadaran publik dan nilai-nilai moral yang kokoh memayungi integritas nasional dari rongrongan korupsi yang menghambat pembangunan yang paripurna. Kedua, hal yang paling sulit dan fundamental dari semua perlawanan terhadap korupsi adalah bagaimana membangun kemauan politik (political will). Kemauan politik yang dimaksud bukan hanya sekedar kemauan para politisi dan orang-orang yang berkecimpung dalam ranah politik. Namun, ada yang lebih penting sekedar itu semua. Yakni, kemauan politik yang termanifestasikan dalam bentuk keberanian yang didukung oleh kecerdasan sosial masyarakat sipil atau warga Negara dari berbagai elemen dan strata sosial. Sehingga jabatan politik tidak lagi digunakan secara mudah untuk memperkaya diri, namun sebagai tangggung jawab untuk mengelola dan bertanggung jawab untuk merumuskan gerakan mencapai kehidupan berbangsa dan bernegara yang baik. Biasanya resiko politik merupakan hambatan utama dalam melawan gerusan korupsi terhadap pembangunan ekonomi nasional. Oleh sebab itu, mengapa kesadaran masyarakat sipil penting?. Dalam tatanan pemerintahan yang demokratis, para politisi dan pejabat Negara tergantung dengan suara masyarakat sipil. Artinya kecerdasan sosial-politik dari masyarakat sipil-lah yang memaksa para politisi dan pejabat Negara untuk menahan diri dari praktek korupsi. Masyarakat sipil yang cerdas secara sosial-politik akan memilih pimpinan (politisi) dan pejabat Negara yang memiliki integritas diri yang mampu menahan diri dari korupsi dan merancang kebijakan kearah pembangunan ekonomi yang lebih baik. Melalui masyarakat sipil yang cerdas secara sosial-politik pula pilar-pilar peradilan dan media massa dapat diawasi sehingga membentuk integritas nasional yang alergi korupsi. Ketika Konstruksi Integritas Nasional berdiri kokoh dengan payung kecerdasan sosial-politik masyarakat sipil, maka pembangunan ekonomi dapat distimulus dengan efektif. Masyarakat sipil akan mendorong pemerintah untuk memberikan pelayanan publik yang memadai.masyarakat sipil pula yang memberi ruang dan menciptakan ruang pembangunan ekonomi yang potensial. Masyarakat melalui para investor akan memutuskan melakukan investasi yang sebesar-besarnya karena hambatan ketidakpastian telah hilang oleh bangunan integritas nasional yang kokoh. Jumlah output barang dan jasa terus meningkat karena kondusifnya iklim investasi di Indonesia, karena kerikil-kerikil kelembagaan birokrasi yang njelimet dan korup telah diminimalisir, kondisi politik stabil dan terkendali oleh tingginya tingkat kecerdasan sosial-politik masyarakat sipil. Para investor mampu membuat prediksi ekonomi dengan ekspektasi keuntungan tinggi. Sehingga dengan begitu pembangunan ekonomi akan memberikan dampak langsung pada pengurangan jumlah pengangguran dan masyarakat miskin, peningkatan PAD (Pendapatan Asli Daerah) masing-masing daerah, peningkatan GDP dan pemerintah akan mampu membangun sisten jaminan sosial warganya melalui peningkatan kualitas pendidikan dan layanan kesehatan yang memberikan dampak langsung pada peningkatan kecerdasan masyarakat sipil.
BAB III
KESIMPULAN
KESIMPULAN
Merangkai kata untuk perubahan
memang mudah. Namun, melaksanakan
rangkaian kata dalam bentuk gerakan terkadang teramat sulit. Dibutuhkan kecerdasan dan keberanian untuk
mendobrak dan merobohkan pilar-pilar korupsi yang menjadi penghambat utama
lambatnya pembangunan ekonomi nan paripurna di Indonesia. Korupsi yang telah terlalu lama menjadi wabah
yang tidak pernah kunjung selesai, karena pembunuhan terhadap wabah tersebut
tidak pernah tepat sasaran ibarat “ yang sakit kepala, kok yang diobati tangan
“. Pemberantasan korupsi seakan hanya
menjadi komoditas politik, bahan retorika ampuh menarik simpati. Oleh sebab itu dibutuhkan kecerdasan
masyarakat sipil untuk mengawasi dan membuat keputusan politik mencegah makin
mewabahnya penyakit kotor korupsi di Indonesia.
Tidak mudah memang.
DAFTAR
PUSTAKA
1.
Bahan Bacaan Akhiar Salmi, Paper 2006, “Memahami UU
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi”, MPKP, FE,UI.
2.
Gramedia Hikmahanto Juwana, Paper 2006, “ Politik
Hukum UU Bidang Ekonomi di Indonesia”, MPKP, FE.UI.
No comments:
Post a Comment
Please Comment here :)