Sunday, January 2, 2011

KERATON YOGYAKARTA


A. LOKASI

Dari Kantor Pos Yogyakarta kita pergi ke selatan dan melalui Gladag Pangurakan, sampailah kita di Alun-Alun Utara. Tentang nama Pangurakan ini banyak keterangan.
• Tuan Goricke dan Roorda, mengartikan tempat ini sebagai suatu tempat dimana “urak” atau “daftar jaga” diserahkan kepada yang berkewajiban.
• Sedang BPH. Suryodiningrat berpendapat bahwa tempat ini dahulu adalah sebuah tempat dimana pegawai keratin yang mendapat hukuman dibuang diurak (diusir) dari kota.


Di sekeliling Alun-Alun terdapat 62 batang pohon beringin dan di tengah-tengah 2 batang, jadi semuanya 64 batang. Pohon beringin di tengah alun-alun berpagar batu bata, maka disebut juga “Waringin Kurung”. Diberi nama Kyai Dewadaru dan Kyai Janadaru, menggambarkan dua sifat berlawanan di dunia ini. KPH. Brongtodiningrat berpendapat bahwa kedua Waringin Kurung ini menggambarkan simuolis. Macro cosmos dan micro cosmos.
Di sela-sela pohon beringin keliling alun-alun berdiri bangunan-
bangunan berbentuk pendapa, disebut Pekapalan tempat Bupati-bupati dahulu
lugur (singgah untuk beberapa hari) kalau ada sesuatu upacara. Sekarang dipakai untuk bermacam-macam Kantor Jawatan Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta/Kotamadya Yogyakarta.
Di sebelah barat alun-alun berdiri Masjid Besar, berbentuk pendapa tertutup dengan serambi terbuka dimukanya. Atapnya bertingkat, tiang-tiang Masjid Besar di sebelah dalam terdiri dari batang-batang kayu jati bulat-bulat, menjulang ke atas menahan kedua atap masjid itu. Konstruksi dan arsiteknya Jawa Asli.
Di halaman masjid sebelah kanan kiri ada dua bangunan berlantai tinggi bernama pagongan, tempat gamelan sekali dibunyikan selama satu minggu menjelang perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW.
Sekarang kita mendekati komplek keraton membujur dari utara ke selatan sepanjang kurang 1 km terdiri atas 7 halaman, satu dengan yang lainnya dihubungkan dengan sebuah pintu gerbang, Rwgol namanya.

B. SEJARAH

Kraton = Karaton = Tempat/kediaman para Ratu. Nama lain : Kedaton = tempat/kediaman para Datu/Ratu. Tiangnya berjumlah 64, sekarang 2 diantaranya diganti 4 pilar besar-besar. Di atas gerbang terlihatlah beberapa hiasan relief dengan condro sengkolo “Ponco Gono Saliro Tunggal”, Ponco = 5, Gono = 6, Saliro = 9, Tunggal = 1. Di baca dari belakang = 1965, yakni tahun Jawa pada waktu yang mana Pagelaran ini dimuliakan Sri Sultan HB
VIII. Sebelumnya mempunyai atap anyaman bamboo dan disebut “tratag
rambat”. Gerbang sebelah selatan dihiasi pula dengan relief-relief berisikan sebuah suryo sangkolo “Catur Trisulo Kembang Lata” atau tahun 1934M.
Antara sayap kanan-kiri Pagelaran ada dua buah bangsal kecil dengan dua selogilang tempat singgasana Sri Sultan mengangkat seorang Patih. Dahulu juga untuk memeriksa “Gelar-gelar” (Slagorde-barisan) prajurit yang hendak diberangkatkan ke medan perang. Juga untuk menerima laporan-laporan para senopati. (Dr. Th. Pgeud, Majalah Jawa 1940). Di tempat ini juga Sri Sultan melihat watangari yang diadakan di alun-alun utara. Sebuah dataran persisi di selatan alun-alun, di bawah rindang pohon-pohon beringin, di muka pagelaran namanya : bakung, tempat kuda-kuda.
Kanan-kiri Pagelaran ada dua buah bangsal besar beratap Klabang Sinander, atap kedua terlepas dari atap pertama, disebut Bangsal Pangapit atau Bangsal Pasewakan. Disinilah panglima-panglima perang menerima perintah perang dari Sri Sultan atau menunggu giliran untuk melaporkan sesuatu. Kemudian hari dipakai untuk caos (tempat jaga) para Bupati Anom Jaba.
Halaman antara Pagelaran dan Sitihinggil ditanami dengan 6 batang pohoN gayam, (gayam menggambarkan gayuh = cita-cita). Menurut KPH. Brongtodiningrat, gayam = ayam = tenang = bahagia.
Sesampai kita di Sitihinggil tanpa kita sadari kita telah berada di bawah sebuah bangunan persegi empat bertiang besi, Tarub Agung namanya, yaitu tempat pembesar-pembesar menunggu rombongan untuk bersama-sama masuk keraton.
Di halaman Sitihinggil sebelah timur berdiri sebuah bangunan Bale
Bang namanya, dahulu dipakai untuk menyimpan gamelan Sekati. Di sebelah barat terletak bale Angun-angun, disini dahulu disimpan sebuah pusaka keraton Kanjeng Kyai Sura Angun-angun, sebuah tombak untuk membunuh banteng.
Dalam regol Danapertapa di dinding, belakang sebuah lambing kerato Yogyakarta. Sebelah atas adalah mahkota Sri Sultan, dibawahnya kanan kirai “Sumping” kerajaan. Kedua sayap menggambarkan sikap waspada dan bijaksana.
Di sebelah bangsal kencana terlihatlah gedung besar berdinding gebyong kayu berwarna sawo matang berlantai marmer yaitu Bangsal Proboyakso, tempat penyimpanan pusaka-pusaka keratin. Di dalamnya ada lampu yang tak pernah padam.
Di halaman keratin, tepat berhadapan dengan Gedung Kuning berdiri Bangsal Mandalasana, sebuah bangsal tempat pemain musik. Di sebelah selatan Bangsal kencana kita lihat sebuah bangsal berbentuk limas an berlantai marmer yang menghadap ke timur yaitu bangsal manis.
Sebuah gedung dimana dahulu disimpan pakaian kuda yaitu Gedung Kapa, sekarang dijadikan museum Keraton. Gedung Pringgodani, sekarang dipakai untuk menyimpan lukisan-lukisan Raden Shalaeh dan beberapa potret tentang perkawinan putra-puti Sri Sultan.
Pada halaman Pelataran Keraton, di sebelah selatan ada sebuah pintu gerbang disebut Regol Kemagangan. Magang berarti Calon. Di halaman ini dahulu calon-calon prajurit diuji ketangkasannya dalam menggunakan tombak,dihadiri oleh pangeran-pangeran serta kerabat keratin lainnya. Bangunan-bangunan ini di dua sudut selatan adalah untuk membuat gunungan. Sedekah makan dibuat gunungan pada hari garebeg, halaman ini adalah bagian ke V kompleks keraton.

No comments:

Post a Comment

Please Comment here :)